Rabu, 24 Oktober 2012

GANGGUAN YANG MELIBATKAN NERVUS I – VI



1.      Nervus Olfaktorius (N I)
Kerusakan saraf ini menyebabkan hilangnya penciuman (anosmia), atau berkurangnya penciuman (hiposmia). Penderita anosmia kadang-kadang tidak menyadari bahwa penciumannya terganggu, mereka mengeluh bahwa mereka tidak dapat lagi menikmati lezatnya makanan. Biasanya kerusakan saraf ini disebabkan oleh kelainan disekitarnya. Bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius dapat terganggu oleh tumor disekitarnya, misalnya meningioma. Tumor didasar lobus frontal dapat menekan traktus olfaktorius. Tumor di alur olfaktorius atau di pinggir tulang sfenoid, terutama meningioma, dapat menyebabkan Sindrom Foster Kennedy, yaitu ditandai oleh :
a.       Anosmia ipsilateral, karena tekanan langsung pada bulbus atau traktus olfaktorius.
b.      Atrofi optik ipsilateral, disebabkan oleh jejas pada saraf optik ipsilateral.
c.       Sembab papil (papiledema) kontralateral, karena peningkatan tekanan intracranial akibat tumor (lesi membutuhkan ruang).
Penyebab gangguan menghidu yang sering dijumpai :
a.       Penyakit inflamasi akut atau kronis di hidung perokok berat.
b.      Trauma Kepala
Mungkin disebabkan oleh robeknya filamen olfaktorius, tidak jarang tempat yang terpukul di oksipital.
  Penyebab gangguan menghidu yang jarang dijumpai :
a.       Tumor intakranial yang menekan bulbus atau traktus olfaktorius.
b.      Inflamasi selaput otak yang kronik, misalnya oleh sifilis.

2.      Nervus Optikus (N II)
Keluhan yang berhubungan dengan gangguan nervus II adalah : ketajaman penglihatan berkurang, lapangan pandang (kampus penglihatan) berkurang, ada bercak di dalam lapangan pandang yang tidak dapat dilihat (stokoma), fotofobi yaitu mata mudah menjadi silau, takut akan cahaya dapat dijumpai pada penderita meningitis.
a.       Ketajaman penglihatan
Bila terdapat gangguan ketajaman penglihatan (penurunan visus) perlu diselidiki apakah gangguan ketajaman penglihatan ini disebabkan oleh kelainan oftalmologik (bukan saraf), misalnya : kelainan kornea, uveitis, katarak, dan kelainan refraksi.
b.      Lapangan pandang
Macam-macam kelainan bentuk lapangan pandang, misalnya : hemianopsia (heteronim) bitemporal atau binasal yang disebabkan oleh lesi di khiasma optik, hemianopsia hormonim (kanan atau kiri) yang disebabkan oleh lesi di traktus optik dan anopsia kuadran yang disebabkan oleh lesi di radiasi optik atau korteks optik. Selain itu, perlu diperiksa apakah terdapat skotoma, yaitu bercak atau bidang didalam kampus yang tidak dapat dilihat. Untuk memeriksa adanya skotoma dapat digunakan kampimeter. Tempat serta ukuran skotoma dapat bermacam-macam. Skotoma yang terdapat di pusat penglihatan (disebut juga skotoma sentral) disebabkan oleh gangguan di macula. Skotoma dapat pula disebabkan oleh kelainan optik, bukan oleh kelainan saraf, misalnya : kelainan di media dan retina mata.
c.       Sembab papil
Papil adalah tempat serabut nervus II memasuki mata. Sembab papil dapat disebabkan oleh radang aktif atau oleh bendungan.

3.      Nervus Okulomotorius (N III)
Gangguan total pada N III, ditandai oleh :
a.       Muskulus levator palpebrae lumpuh, mengakibatkan ptosis.
b.      Paralisis otot m. rektus superior, m. rektus internus, m. rektus inferior, dan m. oblikus inferior.
c.       Kelumpuhan saraf parasimpatis, yang menyebabkan pupil midriasis yang tidak bereaksi terhadap cahaya dan konfergensi.
Gangguan sebagian N III
Pada parese N III yang disebabkan oleh tekanan, maka yang terutama terkena adalah bagian pinggir dari N III yang mengandung serabut saraf parasimpatis, maka terjadi gangguan pada reaksi pupil. Pada parese N II yang disebabkan oleh gangguan aliran darah, bagian serabut N III yang terutama terkena adalah yang letaknya ditengah, sehingga reaksi pupil tidak terganggu.

4.      Nervus Trokhlearis (N IV)
Kelumpuhan N IV tersendiri jarang dijumpai. Penyebab kelumpuhan N IV yang paling sering ialah trauma, dan dapat juga pada dijumpai pada diabetes mellitus, namun tidak sesering parese N III. N IV dapat mengalami lesi didalam orbita, dipuncak orbita, atau si sinus kavernosus. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia (melihat ganda, melihat kembar) bila mata dilirikkan kea rah ini. Penderitanya juga mengalami kesukaran bila naik atau turun tangga dan membaca buku karena harus melirik kebawah.

5.      Nervus Abdusen (N VI)
Kelumpuhan lesi N VI
Lesi N VI melumpuhkan otot rektus lateralis, jadi melirik kearah luar (lateral, temporal) terganggu pada mata yang terlibat, yang mengakibatkan diplopia horizontal. Bila pasien melihat lurus ke depan, posisi mata yang terlibat sedikit mengalami aduksi, disebabkan oleh aksi yang berlebihan dari otot rektus medialis yang tidak terganggu.
Penyebab gangguan N VI
a.       Vaskuler (infark, arteritis, anerisma)
b.      Trauma (fraktur os petrosum)
c.       Tekanan intra kranial tinggi
d.      Mastoiditis
e.       Meningitis
f.       Sarkoidosis
g.      Glioma di pons
Kelumpuhan otot mata multiple
Kelumpuhan ini dapat juga disebabkan oleh miastenia gravis, disamping parese otot penggerak bola mata dapat juga dijumpai ptosis.

6.      Nervus Trigeminus (N V)
Keluhan yang terjadi sebagai akibat gangguan nervus V adalah : hipertesi atau anastesi dimuka, parastesi, rasa nyeri yang kadang-kadang dapat hebat sekali dan datang dalam bentuk serangan (tic douloureux), gangguan mengunyah, dan mulut tidak dapat dibuka lebar (trismus). Trismus disebabkan oleh spasme tonik otot-otot mengunyah, misalnya pada tetanus.
Bila terdapat gangguan sensibilitas yang menyeluruh pada setengah wajah, menunjukkan adanya lesi di ganglion Gasseri atau di akar serabut sensori sebelum memasuki pons. Bila gangguan sensibilitas di wajah merupakan bagian dari hemihipestesia (hipestesia setengah badan), maka lesi berada pada hubungan supranuklir, dari thalamus ke korteks sensori post sentralis. Bila rasa raba saja yang terganggu, menunjukkan adanya lesi di nucleus induk somatosensorik di pons. Bila rasa nyeri dan rasa suhu yang terganggu, menunjukkan adanya lesi di traktus desendens (serabut yang menuju nucleus spinal) nervus V.
(Sumber : Buku Neurologi Klinik, Prof.Dr.dr. S.M. Lumbantobing)



Kamis, 18 Oktober 2012

KEGAWATAN PERNAFASAN.

Kegawatan pernafasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka waktu relatif lama sehingga mengaktifkan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Dimana apabila  keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian



ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)



-->


A.    Tinjauan Teoritis
1.      Definisi
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru.
 (DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, 2010)
ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas normal.
(Arif Muttaqin, 2008)

2.      Etiologi
a.       Kerusakan paru akibat inhalasi (mekanisme tidak langsung)
Penyebabnya : kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam, sepsis, syok (apapun penyebabnya), DIC, dan pankreatitik idiopatik.
b.      Obat-obatan
Penyebabnya : heroin dan salisilat.
c.       Infeksi
Penyebabnya : virus, bakteri, jamur, dan TB paru.
d.      Sebab lain
Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli paru trombosis, rudapaksa (trauma), radiasi, keracunan, oksigen, tranfusi massif, kelainan metabolik (uremia), dan bedah mayor
(Arif Muttaqin, 2008)


      3.   Patofisiologi
 -->


-->
4.      Manifestasi Klinis
a.       Dispnea yang bermakna.
b.      Penurunan daya regang paru.
c.       Pernafasan yang dangkal dan cepat pada awal proses penyakit, yang menyebabkan alkalosis respiratorik karena karbondioksida banyak terbuang. Selanjutnya, karena individu mengalami kelelahan, upaya pernapasan menjadi lebih lambat dan jarang.
(Elizabeth J. Corwin, 2009)
        -->        5.     Pemeriksaan Penunjang
a.       Laboratorium
1)      Analisa Gas Darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
2)      Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
3)      Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravascular diseminata (sebagai bagian dari MODS/multiple organ dysfunction syndrome).
b.      Radiologi
1)      Foto toraks : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih, serial foto kemudian tampak bayangan radio-opak difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambaran confluent, tidak terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.
2)      CT scan toraks : pola heterogen, predominasi infiltrate pada area dorsal paru (foto supine).
(DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, 2010)

6.      Penatalaksanaan
Menurut DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, ada empat prinsip dasar menjadi pegangan tata laksana ARDS, yaitu :
a.       Pemberian oksigen, PEEP, dan ventilasi tekanan positif.
b.      Walaupun ARDS seringkali di anggap kegagalan nafas primer, kegagalan multi organ non paru dan infeksi adalah penyebab utama kematian.
c.       Pengaturan ventilasi mekanik yang hati-hati terutama volume tidal terbukti berakibat komplikasi yang lebih jarang dan merupakan satu-satunya tata laksana yang memperbaiki survival.
d.      Prognosisnya buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak ditangani dengan baik.
Menurut Elizabeth J. Corwin, pengobatan ARDS yang utama adalah pencegahan, karena ARDS tidak pernah menjadi penyakit primer tetapi terjadi setelah penyakit lain yang parah. Pengobatannya adalah sebagai berikut :
a.       Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat penstimulasi jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup. Intervensi tersebut dilakukan untuk mengurani akumulasi cairan di dalam paru dan untuk menurunkan kemungkinan gagal jantung kanan.
b.      Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
c.       Kadang-kadang digunakan obat anti inflamasi untuk mengurangi efek merusak dari proses inflamasi, meskipun efektifitasnya masih dipertanyakan.

7.      Komplikasi
a.       Kematian.
b.      Pneumonia.
c.       Gagal ginjal.
d.      Stress ulcer
e.       DIC
(Elizabeth J. Corwin, 2009)

B.    Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Pokok utama pengkajian adalah distress pernafasan, hipoksemia berat, dan difusi bilateral infiltrasi alveolar pada rontgen toraks.
Tanda utama distress pernafasan dan hipoksemia berat berubah pada tingkat kesadaran, takikardi, dan takipnea. Frekuensi pernafasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menjadi tinggi. Dispnea dengan sesak nafas dan berhubungan dengan retraksi interkostal adalah umum dan mungkin ditemukan sianosis. Hal ini harus di ingat, karena sianosis merupakan tanda awal dan nyata dari hipoksemia.
Berdasarkan pada pemeriksaan auskultasi dada didapatkan bunyi nafas. Ronkhi sekunder terhadap sekresi jalan nafas besar, tidak terjadi. Pemeriksaan auskultasi jantung biasanya bunyi jantung normal tanpa gallop atau murmur, kecuali bila ada penyakit jantung atau mengalami trauma.

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial pulmunal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
b.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
3.      Intervensi
a.       Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial pulmunal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pertukaran gas.
Kriteria evaluasi :
1)      Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea.
2)      Klien menunjukkan tidak adanya gejala distress pernafasan.
3)      Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan AGD dalam rentang normal.
Rencana intervensi :
a.       Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
b.      Lakukan pemberian terapi oksigen.
c.       Lakukan ventilasi mekanik.
d.      Monitor kadar hemoglobin.
e.       Kolaborasi pemberian cairan parenteral.
f.       Kolaborasi pemberian terapi farmakologi : kortikosteroid, surfaktan, dan antibiotik.

b.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
Tujuan :
Kebersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria evaluasi :
1)      Klien mampu melakukan batuk efektif.
2)      Pernafasan klien normal (16-20 x/menit).
3)      Tanpa ada penggunaan otot bantu pernafasan.
4)      Pergerakan pernafasan normal.
5)      Ronchi tidak ada.
 Rencana intervensi :
1)      Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu nafas).
2)      Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum, dan adanya hemoptisis.
3)      Berikan posisi semi fowler/fowler tinggi, bantu klien latihan nafas dalam dan batuk efektif.
4)      Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak di indikasikan.
5)      Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan pengisapan (suction).
6)      Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator, dan kortikosteroid.

 
-->DAFTAR PUSTAKA 
Muttaqin, Arif (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistim Pernafasan, Jakarta, Salemba Medika 
Corwin, Elizabeth J. (2009), Patofisiologi, Jakarta, EGC 
Sudoyo, Aru W. (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V, Jakarta, Interna Publishing