Kamis, 18 Oktober 2012

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)



-->


A.    Tinjauan Teoritis
1.      Definisi
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru.
 (DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, 2010)
ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas normal.
(Arif Muttaqin, 2008)

2.      Etiologi
a.       Kerusakan paru akibat inhalasi (mekanisme tidak langsung)
Penyebabnya : kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam, sepsis, syok (apapun penyebabnya), DIC, dan pankreatitik idiopatik.
b.      Obat-obatan
Penyebabnya : heroin dan salisilat.
c.       Infeksi
Penyebabnya : virus, bakteri, jamur, dan TB paru.
d.      Sebab lain
Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli paru trombosis, rudapaksa (trauma), radiasi, keracunan, oksigen, tranfusi massif, kelainan metabolik (uremia), dan bedah mayor
(Arif Muttaqin, 2008)


      3.   Patofisiologi
 -->


-->
4.      Manifestasi Klinis
a.       Dispnea yang bermakna.
b.      Penurunan daya regang paru.
c.       Pernafasan yang dangkal dan cepat pada awal proses penyakit, yang menyebabkan alkalosis respiratorik karena karbondioksida banyak terbuang. Selanjutnya, karena individu mengalami kelelahan, upaya pernapasan menjadi lebih lambat dan jarang.
(Elizabeth J. Corwin, 2009)
        -->        5.     Pemeriksaan Penunjang
a.       Laboratorium
1)      Analisa Gas Darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
2)      Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
3)      Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravascular diseminata (sebagai bagian dari MODS/multiple organ dysfunction syndrome).
b.      Radiologi
1)      Foto toraks : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih, serial foto kemudian tampak bayangan radio-opak difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambaran confluent, tidak terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.
2)      CT scan toraks : pola heterogen, predominasi infiltrate pada area dorsal paru (foto supine).
(DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, 2010)

6.      Penatalaksanaan
Menurut DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, ada empat prinsip dasar menjadi pegangan tata laksana ARDS, yaitu :
a.       Pemberian oksigen, PEEP, dan ventilasi tekanan positif.
b.      Walaupun ARDS seringkali di anggap kegagalan nafas primer, kegagalan multi organ non paru dan infeksi adalah penyebab utama kematian.
c.       Pengaturan ventilasi mekanik yang hati-hati terutama volume tidal terbukti berakibat komplikasi yang lebih jarang dan merupakan satu-satunya tata laksana yang memperbaiki survival.
d.      Prognosisnya buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak ditangani dengan baik.
Menurut Elizabeth J. Corwin, pengobatan ARDS yang utama adalah pencegahan, karena ARDS tidak pernah menjadi penyakit primer tetapi terjadi setelah penyakit lain yang parah. Pengobatannya adalah sebagai berikut :
a.       Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat penstimulasi jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup. Intervensi tersebut dilakukan untuk mengurani akumulasi cairan di dalam paru dan untuk menurunkan kemungkinan gagal jantung kanan.
b.      Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
c.       Kadang-kadang digunakan obat anti inflamasi untuk mengurangi efek merusak dari proses inflamasi, meskipun efektifitasnya masih dipertanyakan.

7.      Komplikasi
a.       Kematian.
b.      Pneumonia.
c.       Gagal ginjal.
d.      Stress ulcer
e.       DIC
(Elizabeth J. Corwin, 2009)

B.    Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Pokok utama pengkajian adalah distress pernafasan, hipoksemia berat, dan difusi bilateral infiltrasi alveolar pada rontgen toraks.
Tanda utama distress pernafasan dan hipoksemia berat berubah pada tingkat kesadaran, takikardi, dan takipnea. Frekuensi pernafasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menjadi tinggi. Dispnea dengan sesak nafas dan berhubungan dengan retraksi interkostal adalah umum dan mungkin ditemukan sianosis. Hal ini harus di ingat, karena sianosis merupakan tanda awal dan nyata dari hipoksemia.
Berdasarkan pada pemeriksaan auskultasi dada didapatkan bunyi nafas. Ronkhi sekunder terhadap sekresi jalan nafas besar, tidak terjadi. Pemeriksaan auskultasi jantung biasanya bunyi jantung normal tanpa gallop atau murmur, kecuali bila ada penyakit jantung atau mengalami trauma.

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial pulmunal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
b.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
3.      Intervensi
a.       Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial pulmunal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pertukaran gas.
Kriteria evaluasi :
1)      Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea.
2)      Klien menunjukkan tidak adanya gejala distress pernafasan.
3)      Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan AGD dalam rentang normal.
Rencana intervensi :
a.       Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
b.      Lakukan pemberian terapi oksigen.
c.       Lakukan ventilasi mekanik.
d.      Monitor kadar hemoglobin.
e.       Kolaborasi pemberian cairan parenteral.
f.       Kolaborasi pemberian terapi farmakologi : kortikosteroid, surfaktan, dan antibiotik.

b.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
Tujuan :
Kebersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria evaluasi :
1)      Klien mampu melakukan batuk efektif.
2)      Pernafasan klien normal (16-20 x/menit).
3)      Tanpa ada penggunaan otot bantu pernafasan.
4)      Pergerakan pernafasan normal.
5)      Ronchi tidak ada.
 Rencana intervensi :
1)      Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu nafas).
2)      Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum, dan adanya hemoptisis.
3)      Berikan posisi semi fowler/fowler tinggi, bantu klien latihan nafas dalam dan batuk efektif.
4)      Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak di indikasikan.
5)      Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan pengisapan (suction).
6)      Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator, dan kortikosteroid.

 
-->DAFTAR PUSTAKA 
Muttaqin, Arif (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistim Pernafasan, Jakarta, Salemba Medika 
Corwin, Elizabeth J. (2009), Patofisiologi, Jakarta, EGC 
Sudoyo, Aru W. (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V, Jakarta, Interna Publishing




Tidak ada komentar:

Posting Komentar