-->
A.
Tinjauan
Teoritis
1.
Definisi
ARDS
merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler
terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus,
dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru.
(DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, 2010)
ARDS
juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom
klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen di arteri
yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi
mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas normal.
(Arif Muttaqin, 2008)
2.
Etiologi
a. Kerusakan
paru akibat inhalasi (mekanisme tidak langsung)
Penyebabnya : kelainan
paru akibat kebakaran, inhalasi gas oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam,
sepsis, syok (apapun penyebabnya), DIC, dan pankreatitik idiopatik.
b. Obat-obatan
Penyebabnya : heroin
dan salisilat.
c. Infeksi
Penyebabnya : virus,
bakteri, jamur, dan TB paru.
d. Sebab
lain
Emboli lemak, emboli
cairan amnion, emboli paru trombosis, rudapaksa (trauma), radiasi, keracunan,
oksigen, tranfusi massif, kelainan metabolik (uremia), dan bedah mayor
(Arif Muttaqin, 2008)
-->
4.
Manifestasi
Klinis
a. Dispnea
yang bermakna.
b. Penurunan
daya regang paru.
c. Pernafasan
yang dangkal dan cepat pada awal proses penyakit, yang menyebabkan alkalosis
respiratorik karena karbondioksida banyak terbuang. Selanjutnya, karena
individu mengalami kelelahan, upaya pernapasan menjadi lebih lambat dan jarang.
(Elizabeth
J. Corwin, 2009)
a. Laboratorium
1) Analisa
Gas Darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada
awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
2) Leukositosis
(pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan
kerusakan endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
3) Gangguan
fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravascular diseminata (sebagai
bagian dari MODS/multiple organ
dysfunction syndrome).
b. Radiologi
1) Foto
toraks : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih,
serial foto kemudian tampak bayangan radio-opak difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi
gambaran confluent, tidak terpengaruh
gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.
2) CT
scan toraks : pola heterogen, predominasi infiltrate pada area dorsal paru
(foto supine).
(DR.Dr.
Zulkifli Amin Sp.PD, 2010)
6.
Penatalaksanaan
Menurut
DR.Dr. Zulkifli Amin Sp.PD, ada empat prinsip dasar menjadi pegangan tata
laksana ARDS, yaitu :
a. Pemberian
oksigen, PEEP, dan ventilasi tekanan positif.
b. Walaupun
ARDS seringkali di anggap kegagalan nafas primer, kegagalan multi organ non
paru dan infeksi adalah penyebab utama kematian.
c. Pengaturan
ventilasi mekanik yang hati-hati terutama volume tidal terbukti berakibat
komplikasi yang lebih jarang dan merupakan satu-satunya tata laksana yang
memperbaiki survival.
d. Prognosisnya
buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak ditangani dengan baik.
Menurut
Elizabeth J. Corwin, pengobatan ARDS yang utama adalah pencegahan, karena ARDS
tidak pernah menjadi penyakit primer tetapi terjadi setelah penyakit lain yang
parah. Pengobatannya adalah sebagai berikut :
a. Diuretik
untuk mengurangi beban cairan, dan obat penstimulasi jantung untuk meningkatkan
kontraktilitas jantung dan volume sekuncup. Intervensi tersebut dilakukan untuk
mengurani akumulasi cairan di dalam paru dan untuk menurunkan kemungkinan gagal
jantung kanan.
b. Terapi
oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
c. Kadang-kadang
digunakan obat anti inflamasi untuk mengurangi efek merusak dari proses
inflamasi, meskipun efektifitasnya masih dipertanyakan.
7.
Komplikasi
a. Kematian.
b. Pneumonia.
c. Gagal
ginjal.
d. Stress
ulcer
e. DIC
(Elizabeth J. Corwin,
2009)
B.
Asuhan
Keperawatan
1.
Pengkajian
Pokok
utama pengkajian adalah distress pernafasan, hipoksemia berat, dan difusi
bilateral infiltrasi alveolar pada rontgen toraks.
Tanda
utama distress pernafasan dan hipoksemia berat berubah pada tingkat kesadaran,
takikardi, dan takipnea. Frekuensi pernafasan sering kali meningkat secara
bermakna dengan ventilasi menjadi tinggi. Dispnea dengan sesak nafas dan
berhubungan dengan retraksi interkostal adalah umum dan mungkin ditemukan
sianosis. Hal ini harus di ingat, karena sianosis merupakan tanda awal dan
nyata dari hipoksemia.
Berdasarkan
pada pemeriksaan auskultasi dada didapatkan bunyi nafas. Ronkhi sekunder
terhadap sekresi jalan nafas besar, tidak terjadi. Pemeriksaan auskultasi
jantung biasanya bunyi jantung normal tanpa gallop atau murmur, kecuali bila
ada penyakit jantung atau mengalami trauma.
2.
Diagnosa
Keperawatan
a. Gangguan
pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara reversible/menetap,
refraktori dan kebocoran interstisial pulmunal/alveolar pada status cedera
kapiler paru.
b. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi,
akumulasi sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
3.
Intervensi
a. Gangguan
pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara reversible/menetap,
refraktori dan kebocoran interstisial pulmunal/alveolar pada status cedera
kapiler paru.
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan
pertukaran gas.
Kriteria evaluasi :
1) Melaporkan
tak adanya/penurunan dispnea.
2) Klien
menunjukkan tidak adanya gejala distress pernafasan.
3) Menunjukkan
perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan AGD dalam rentang
normal.
Rencana intervensi :
a. Evaluasi
perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk
membran mukosa dan kuku.
b. Lakukan
pemberian terapi oksigen.
c. Lakukan
ventilasi mekanik.
d. Monitor
kadar hemoglobin.
e. Kolaborasi
pemberian cairan parenteral.
f. Kolaborasi
pemberian terapi farmakologi : kortikosteroid, surfaktan, dan antibiotik.
b. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi,
akumulasi sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
Tujuan :
Kebersihan jalan nafas
kembali efektif.
Kriteria evaluasi :
1) Klien
mampu melakukan batuk efektif.
2) Pernafasan
klien normal (16-20 x/menit).
3) Tanpa
ada penggunaan otot bantu pernafasan.
4) Pergerakan
pernafasan normal.
5) Ronchi
tidak ada.
1) Kaji
fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan
otot bantu nafas).
2) Kaji
kemampuan klien mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum, dan adanya
hemoptisis.
3) Berikan
posisi semi fowler/fowler tinggi, bantu klien latihan nafas dalam dan batuk
efektif.
4) Pertahankan
intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak di indikasikan.
5) Bersihkan
sekret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan pengisapan (suction).
6) Kolaborasi
pemberian obat sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator, dan
kortikosteroid.
Muttaqin,
Arif (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Dengan Gangguan Sistim Pernafasan, Jakarta, Salemba Medika
Corwin,
Elizabeth J. (2009), Patofisiologi,
Jakarta, EGC
Sudoyo,
Aru W. (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi V, Jakarta, Interna Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar